Aku menyeka air mata yang perlahan keluar dari mataku. Orang yang nggak tahu pasti ngira aku lagi nangis. Padahal aku lagi mati-matian nahan biar nggak ketahuan lagi ngantuk, ujung-ujungnya malah mataku jadi berair. Hoaaammm…
Baru jam sebelas teng, perutku sudah lapar, kepalaku sudah kosong, nggak bisa diajak mikir lagi. Sumpah, aku bosan banget!
Aku mengedip-ngedipkan mataku, biar nggak ngantuk lagi. Uhhhhh.. moga aja nggak ada nasabah yang lihat, ntar dikiranya aku Customer Service genit yang lagi nyari perhatian. Eh, tapi dari tadi emang nggak ada nasabah kok.
Kalau aja CCTV sialan itu nggak pas ngarah mukaku, pasti dari tadi aku sudah tidur siang dengan sukses. Aku membetulkan dudukku. Tersiksa banget rasanya jadi Customer Service di bank Cabang Pembantu yang baru buka beberapa hari ini. Tiap hari sepi, sepi dan sepi!
Mataku mengarah keluar, ada tukang es campur yang lagi jualan. Enaknya siang-siang gini minum es campur, ehmmmm… Mataku berputar kembali, OB kantor sebelah keren juga. Untung aja pintunya dari kaca transparan, jadi semua yang lagi di luar bisa kelihatan.
Keren kali ya kalau tiba-tiba ada perampok bertopeng yang tiba-tiba datang kaya’ yang sering diberitain di TV. Tapi, jangan deh.
Tiba-tiba seseorang mendorong pintu dan masuk dengan tergesa-gesa. Hampir aja satpam yang baru mau bantu bukain pintu ditabraknya.
Aku langsung siaga satu. Moga aja make up ku belum luntur. Belum lagi satpam sempat nanyain keperluannya, orang itu langsung menuju ke arahku. Duh, si ibu!
“Selamat siang ibu, dengan saya Gea. Silahkan duduk, ibu,” Kataku sambil berdiri dan menyodorkan tanganku buat salaman. Tapi, boro-boro si ibu membalas salamku, dia malah langsung duduk.
“Ada yang bisa saya bantu, bu?” Tanyaku dengan nada ramah.
“Saya mau komplain, mbak. Ini kartu kredit saya sudah beberapa bulan yang lalu saya tutup, tapi kok datang tagihannya lagi. Bulan lalu saya sudah telepon ke pusat, katanya nanti bakal dihapusin tagihannya. Tapi kok bulan ini datang lagi tagihannya. Yang benar mana sih, mbak?” Katanya berapi-api.
Pelan-pelan aku menarik nafas. Kunci menghadapi nasabah yang lagi marah, nggak boleh ikut-ikutan marah juga. Fiuuuhhh…!!!
“Maaf ibu, sebelumnya dengan ibu siapa siapa saya bicara?”
“Tati,” Jawabnya judes.
“Ibu Tati, mohon maaf atas ketidaknyamannya. Boleh saya pinjam kartu kredit dan KTPnya. Saya bantu cek dulu ya, ibu,” Si ibu mengorek-ngorek tasnya yang kutebak harganya pasti berkali-kali lipat dari gajiku, uuhhh ngiler!
“Saya cek dulu ya, ibu,” Kataku setelah menerima kartu kredit dan KTPnya. Muka si ibu masih cemberut.
“Ibu Tati, mohon maaf. Di sistem, data kartu kredit ibu memang sudah tutup dan tidak ada tagihan lagi,”
“Tapi, kemarin saya baru terima tagihannya lagi, mbak!” Si ibu langsung memotong omonganku.
“Boleh saya pinjam tagihannya, ibu Tati?” Lagi-lagi si ibu mengorek-ngorek tasnya. Heran, kenapa barang-barang di tasnya nggak disimpan dengan rapi.
Setelah sekian lama mengaduk-aduk isi tasnya, si ibu pun menyerah.
“Saya telepon anak saya dulu, suruh dia antar kesini” Ampun deh, kirain sudah nyerah. Lagi-lagi handphone keluaran terbarunya bikin aku ngiler.
“Atau begini aja, Ibu. Saya buatkan formulir pengaduannya. Masalah ibu Tati nanti saya email ke Card Centre. Kalau ada perkembangannya, saya akan menghubungi ibu lagi,” Tawarku.
“Tunggu sebentar, anak saya sudah di jalan,” Si ibu tetap bersikukuh dan kembali menelepon anaknya. Rasa ngantuk dan laparku seketika itu juga langsung hilang.
“Nah, itu dia!” Kata si ibu setengah bersorak. Heran, cepat banget anaknya datang, apa rumah mereka di samping bank ini ya?
Laki-laki yang katanya anak si ibu itu mendorong pintu dengan perlahan, gayanya sudah mirip model yang kesasar. Nggak lama dia pun ditegur satpam karena masih menggunakan kacamata hitamnya. Aku terkikik dalam hati.
“Kan sudah aku bilang, ini tagihan punyaku” Anak si ibu tadi langsung menuju ke ibunya. Aku menatapnya setengah nggak percaya. Dia kan…
“Punya mama kan sudah…” Mendadak dia menghentikan bicaranya setelah melihatku.
“Gea???!!!” Ampun deh, aku kira dia sudah lupa sama aku. Tahu bakal gini, dari pagi aku nggak usah masuk kerja aja.
“Eh… Aga ya?” Goblok… goblok… goblok! Seharusnya tadi aku bilang eh, siapa ya? Kan kedengarannya lebih berkelas. Arrggghhh…!!!
“Siapa, Ga?” Si ibu penasaran. Huuh, mau tahu aja!
“Ini, Gea teman kuliah aku dulu, ma,” Sahutnya dan sekarang dia sudah duduk di depanku. Aku jadi nggak ingat lagi kalau aku harus berdiri dan mengucapkan salam kepada setiap nasabah. Huuuh, kenapa nggak bilang terus terang aja kalau aku ini mantan pacarnya.
“Ohhh… Gea yang ini!” Lagi-lagi si ibu hampir bersorak histeris. Emang kita pernah kenal dimana, bu? Dalam hati aku dongkol banget. Tapi, aku harus tetap profesional.
“Cewek kamu itu ya?” Si ibu setengah berbisik di telinga Aga. Ehm… ehm mantan, ibu, mantan pacar! Sebelnya Aga cuma senyum-senyum nggak jelas.
“Oya, boleh saya pinjam tagihannya sebentar ibu,” Aku langsung ingat maksud si ibu datang kesini. Masa bodo dengan Aga!
“Mamaku yang salah, ini tagihan punyaku. Punya mama kan sudah ditutup kemarin,” Kata Aga. Aku bengong sesaat, berusaha mencerna omongan Aga.
“Mama salah paham, dikiranya tagihan yang datang kemarin punya dia. Padahal jelas-jelas namaku,” Lanjut Aga. Oooww… aku baru ngerti sekarang. Si ibu berpenampilan wah yang ternyata mamanya mantan pacarku ini salah paham. Ya ampun, bu! Untung aku sabar dan baik hati, jadi nggak ikut-ikutan marah juga.
“Eh… iya ya, Ga,” Kata si ibu malu-malu.
“Ya sudah kalau gitu, maafin ibu ya. Soalnya kemarin ibu buru-buru lihatnya,” Katanya sambil cengar-cengir. Hilang deh muka juteknya.
“Iya, nggak apa-apa, bu,” Sahutku sambil tersenyum ramah. Uhhh, baru kali ini aku ngerasa hebatnya jadi CS, nggak jauh beda sama artis-artis sinetron deh.
“Masih ada yang bisa saya bantu, bu Tati? Mungkin masih ada keluhan lain,” Tanyaku. Padahal dalam hati pengen banget Aga dan ibunya pergi secepat mungkin.
“Kamu ada, Ga?” Eh…si ibu malah nanya anaknya.
“Aku sih nanti aja, ma,” Sahutnya sambil senyum-senyum nggak jelas.
“Ya sudah kalau gitu, aku antar mama pulang dulu. Aku mau balik kantor lagi,” Kata Aga sambil beranjak dari duduknya.
Aku pun berdiri dan kemudian mengulurkan tangan. Aga menjabat tanganku agak lama, risih jadinya. Si ibu juga ikut-ikutan menjabat tanganku lama-lama. Padahal tadi aja nggak mau.
“Kapan-kapan main ke rumah ya,” Kata si ibu. Aku cuma tersenyum. Mereka berdua beranjak pergi, sebelumnya Aga ngasih kode kalau dia bakal telepon. Hoaaaam… terserahmulah!
Sudah lama banget aku nggak pernah ketemu Aga. Kapan ya terakhir, oya pas wisudaku setahun yang lalu, adiknya Aga juga wisuda bareng aku. Itu pun aku sama Aga cuma diam-diaman. Huuuh nyebelin kalau ingat yang dulu.
Eh… tapi dulu aku sama Aga putus gara-gara apa ya? Lama aku berpikir, apa ya?
Oiya, Aga dulu waktu jaman kuliah super sibuk, sok pintar dan sok kegantengan. Aku benci! Selesai kuliah, bukannya ngajak ketemuan tapi malah sibuk rapat sana sini. Malam minggu jarang ke rumah, ngakunya lagi ngerjain skripsinya. Hari libur kuajak jalan dia malah sibuk sama klub basketnya. Mana aku betah lama-lama pacaran sama orang kaya’ gitu. Huuuh!
—
Aku membenahi meja kerjaku. Hari ini kerjaanku cuma sedikit, jadinya bisa lebih cepat pulang. Aku mendorong pintu kantorku sambil sebelah tanganku menenteng tas yang berisi peralatan make up dan sepatuku. Aku lebih suka pulang cuma pakai sandal jepit, biar lebih mudah desak-desakan di bus.
Sebuah sedan hitam yang diparkir di depan kantor mengklaksonku. Apaan sih, berisik aja. Aku diklakson sekali lagi. Bodo ah, cuekin aja. Aku kan jalan di tempat yang benar.
“Gea!” Kali ini aku baru noleh. Ya ampun, Aga lagi!
“Mau pulang ya?” Aga keluar dari mobilnya dan menghampiriku. Ya iyalah mau pulang, emang aku keliatan kaya’ orang yang mau kemana, ke kondangan?
“Bareng yuk,” Ajaknya.
“Emang kantormu dimana, kok bisa kesini?” Aku malah mengalihkan pembicaraan.
“Nggak jauh kok dari sini. Ayo bareng,” Ajaknya lagi. Aku melihat ke atas, langit sudah mulai kehitaman, bentar lagi pasti mau hujan. Gimana ya, harga diri atau kehujanan?
“Ya sudah, ayo!” Kali ini aku milih jatuhin harga diriku. Lumayan juga nggak perlu ngeluarin uang buat bayar bus hari ini.
“Aku mau cerita, tapi janji jangan marah ya,” Kata Aga setelah di mobil.
“Cerita aja,” Sahutku malas-malasan.
“Tadi aku bilangnya ke mama kalau kita masih pacaran…” Aku langsung mendelik kaget.
“Maksudmu apa? kan kamu juga tahu kita udah lama putus. Kenapa mesti bohong sama mamamu?”
“Dengar dulu, kan tadi aku udah bilang kamu jangan marah. Udah ya, dengar aku cerita dulu,” Aku menatap Aga tajam sambil menunggu cerita selanjutnya.
“Dari dulu mama tahunya kamu itu pacarku. Trus sudah dari dulu juga mama pengen ketemu kamu. Sampai kita putus, mama masih terus desakin aku kalau pengen ketemu kamu,” Aga terdiam sebentar dan menatapku.
“Terus tadi aku bilang ke mama kalau kita sudah balikan,” Lanjutnya.
“Kenapa nggak bilang terus terang aja kalau kita benaran sudah putus,” Selalu. Nih orang benaran nyebelin. Dulu waktu kuputusin, nggak ada sedikitpun niat minta balikan, malah sok nggak butuh. Sekarang malah ngarang cerita bohong ke mamanya.
“Nggak bisa,” Sahut Aga. “Nggak bisa gimana? Mudah kan,” Sahutku jengkel.
“Iya, memang aku yang salah. Tapi masalahnya sekarang sudah nggak bisa lagi bilang ke mama,”
“Nggak bisa apanya?” Uhhh… aku tambah jengkel. Pengennya setelah lama nggak ketemu, bisa baik-baik ngomongnya. Ini malah buat tambah emosi aja.
“Mama minta aku ngelamar kamu” Aku shock, hampir-hampir mau pingsan. Bersamaan dengan itu suara guntur menggelegar, kilat menyambar, hujan pun turun dengan lebatnya.
END
(y)
BalasHapus